NWBersatu.
Lombok Timur, DA; Hj Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Madjid adalah
putri sulung al Magfurulah Maulanasyaikh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid,
dari pernikahaannya Ummi Hj Rahmatullah.
Sebelum wafatnya maulanasyaikh mungkin hanya sebagian warga NW yang
mengenal nama umi Raihanun, hal itu disebabkan karena ia tidak terlalu
banyak berkecimpung dalam organisasi, waktunya habis untuk mengurus
keluarga.
Kendati demikian, aura kepemimpinan Ummi Raihanun sudah diketahui ayah
beliau sendiri, Maulanasyaikh, dan terbukti pasca wafatnya
Maulanasyaikh, pada tahun 1997, kondisi organisasi NW sedang tidak
kondusif karena terjadinyaa faksi-faksi ditataran petinggi NW pada waktu
itu.
Tanpa diduga, pada Muktamar X di Praya, Muktamirin sebagian besar
memilih Hj St Raihanun ZAM sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NW
menggantikan suaminya H L Gede Wiresentane, yang juga mangkat.
Sebagian peserta Muktamar keluar meninggalkan lokasi Muktamar karena
tidak menginginkan Ummi Raihanun sebagai Ketua PBNW periode 1998-2003
dengan berbagai alasan.
Pasca terpilihnya ummi Raihanun sebagai ketua umum PBNW pada muktamar X
di Praya, ia bersama jajaran mulai bekerja dengan semangat juang tinggi
dan tanpa lelah terus mengarungi kerasnya medan perjuangan dan terbukti
mampu mengembangkan organisasi dan madrasah NW di berbagai pelosok
Nusantara. Dengan keberhasilan pada periode 1998-2003, pada muktamar XI
dan XII di Anjani , Ummi Raihanun kepada dipercaya memimpin NW.
Berbagai pujianpun mengalir atas keberhasilannya mengembangkan NW serta
kegigihannya memperjuangkan Islam Ahlussunah Waljamaah, bahka para ulama
dari Tanah Suci Mekkah sangat kagum atas hasil yang dicapai dalam
mengembangkan Islam kendati seorang perempuan. Kita bisa bayangkan, di
bawah kepemimpinan ummi Raihanun, hampir setiap HULTAH NWDI di Anjani,
selalu dihadiri oleh para ulama Makkah, bukan hanya satu dua orang yang
hadir tapi sampai lima orang ulama dari Tanah Suci selalu ingin hadiri
setiap HULTAH NWDI di Anjani. Maka tanpa ragu seorang ulama terkemuka
Kota Mekkah yaitu Syaikh Sayyid Abbas bin Alawi al Maliki saudara dari
Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi Maliky al Hasani, menobatkan Ketua Umum
PBNW Ummi Hj St Raihanun ZAM sebagai seorang Mujahidah Islam (pejuang
Islam perempuan) yang sangat tangguh tanpa mengenal lelah berjalan dan
terus berjalan mengarungi perjuangan setiap harinya.
Menurut penuturan salah seorang Masyaikh Mahad TGH Zaini Abdul Hanan,
gelar Mujahidah itu diberikan ulama Makkah pada saat Ummi Raihanun
pergi umroh pada bulan Apri lalu, saat beliau berziarah ke Syaikh Sayyid
Abbas bin Alawi al Maliki.
Menurut pandangan Sayyid Abbas yang memiliki silsilah keturunan Nabi
Besar Muhammad SAW itu ummi Raihanun layak menyandang gelar Mujahidah,
karena semangat dan nilai juang yang sangat tinggi yang dimiliki putri
Maulanasyaikh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid tersebut.
Tingginya nilai perjuangan pendiri Yayasan Pendidikan Pontren Syaikh
Zainuddin NW Anjani ini terpampang jelas hasilnya seperti di tulis dalam
buku “ Ibu Rumah Tangga Gemparkan Lombok” (Biografi Ummi Raihanun) yang
ditulis Dr. H M Mugni, M. Kom., M.Pd.
Di dalam buku itu ditulis bagaimana kegigihan seorang Ummi
Raihanun dalam menegakan panji-panji Islam melalui organisasi yang
didirikan ayah beliau, yaitu organisasi NW. Berikut kutipan tulisan Dr
Mugni tentang kegigihan Umi Raihanun dalam berjuang “Kegigihan dan
keberhasilan perjuangan Umi, diakui oleh tokoh-tokoh nasional. Hal ini
dibuktikan dengan kahadiran beberapa tokoh Nasional di Pondok Pesantren
Syaikh Zainuddin Nahdlatul Wathan Anjani Lombok Timur. Di antara
tokoh-tokoh nasional yang pernah bersilaturrahmi ke Umi, yakni Yakob
Nawawea dalam kapasitas beliau sebagai Menteri Tanaga Kerja Kabinet
Megawati. KH. Hasyim Muzadi dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Umum
PBNU. Din Syamsudin dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah. Hatta Rajasa dalam kapasitas beliau sebagai Menteri
Sekretaris Negara, dan Muhammad Yusuf Kalla dalam kapasitas beliau
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Menurut data yang ada bahwa selama Nahdlatul Wathan berdiri
sampai akhir hayat Maulana Syaikh selaku pendiri tidak pernah dikunjungi
oleh Wakil Presiden. Yang pernah berkunjung hanya sampai setingkat
Menteri dan calon Wakil Presiden, seperti Harmoko dalam kapasitasnya
sebagai Menteri Penerangan, Jenderal Tri Trisno dalam kapasitasnya
sebagai Panglima ABRI saat itu dan akan menjadi calon Wakil Presiden,
dan lain-lain.
Tidak mungkin tokoh-tokoh ini akan hadir di Anjani kalau bukan
karena ketokohan dan kegigihan Umi dalam perjuangan dengan hasil yang
nyata. Seperti diungkapkan pada bagian pendahuluan buku ini bahwa Umi
adalah hanya sebagai ibu rumah tangga dan tidak banyak muncul dalam
kegiatan-kegiatan organisasi Nahdlatul Wathan kecuali dalam
kegiatan-kegiatan Muslimat Nahdlatul Wathan. Tetapi begitu Maulana
Syaikh wafat dan mendapat mandat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Wathan, Umi muncul sebagai pewaris Maulana Syaikh termasuk
dalam kegigihannya dalam perjuangan. Maulana Syaikh pernah mengatakan,
“Aku ingin seperti matahari selalu berputar sepanjang hari tidak pernah
berhenti.” Falsafah matahari ini diwujudkan Maulana Syaikh dengan terus
berkeliling sepanjang hari memberikan pengajian kepada jamaah rata-rata
tiga kali sehari, yakni pagi hari untuk tullab Ma’had, siang dan sore
hari memberikan pengajian di tengah-tengah masyarakat secara bergiliran.
Falsafah perjuangan Maulana Syaikh ini diwariskan oleh Ummi
dengan terus berkeliling setiap hari membina umat. Pagi hari menerima
tamu yang berhubungan dengan kegiatan Nahdlatul Wathan atau politik,
siang dan sore hari memberikan pengajian kepada masyarakat bersama tuan
guru-tuan guru Nahdlatul Wathan. Pada malam hari pun terus menerima
tamu, berdiskusi untuk kepentingan Nahdlatul Wathan, sehingga banyak
orang bilang “Umi itu wanita baja, Umi itu wanita kuat, siapa laki-laki
yang bisa menandingnya, seandainya Umi laki-laki, tidak terbayangkan apa
yang Umi lakukan, wajar anak bapaknya, embe aneng aik ngelek (kemana
arah air jalan)”.
Satu hal yang luar biasa, bagi Umi bila sudah menyangkut masalah
perjuangan tidak ingin menunda-nunda waktu, ingin selalu cepat. Ini yang
sering kali tidak bisa diikuti oleh pembantu-pembatu Umi karena mereka
biasanya banyak pertimbangan dengan mengakaji akibat-akibat yang terjadi
bila satu hal itu dikerjakan dengan tergesa-gesa. Tetapi kadang-kadang
Umi tidak tertarik dengan diskusi atau kajian-kaajian yang terlalu lama.
Pembantu-pembatu Umi yang tidak sepenuhnya menerima pola-pola yang
seperti itu kadang-kadang menjadi apatis. Bahkan ada juga yang tidak
aktif lagi di organisasi (Anjani) tetapi tetap berjuang di bawah bendera
Nahdlatul Wathan secara mandiri dan mengakui Anjani sebagai
afiliasinya. Sikap ini biasanya ditemukan pada
kader-kader/pembantu-pembatu Umi yang berpikirnya rasional. Memang
inilah faktanya, banyak kader Nahdlatul Wathan yang berpikir rasional
sebagai produk dari pendidikan formal yang mereka peroleh. Kadang-kadang
mereka sulit menerima doktrin sami’na waata’na bila tidak rasional
menurut mereka. Tetapi ada juga yang terus melaksanakan semuanya tanpa
banyak bertanya dengan prinsip yang penting sudah dikerjakan. Hasil dan
akibat urusan belakang yang penting sudah melaksanakan perintah Umi.
Menurut beberapa orang yang penulis wawancarai bahwa kegigihan
Umi dalam mendirikan madrasah persis sama dengan Maulana Syaikh. Bila
sudah berencana mendirikaan madrasah harus terwujud dan semangatnya
terus menyala-nyala. Lihat saja sudah berapa madrasah didirikan dalam
masa kepemimpiannya sebagai Ketua Umum PBNW. Umi juga melakukan tradisi
Maulana Syaikh dengan memberikan panitia pembangunan sumbangan awal
sebagai “jejaton/penyembek”. Bahkan Umi juga langsung mengendalikan
pembangunan madrasah yang di tempat itu minim orang NW-nya, seperti di
wilayah Pemongkong Kecamatan Jerowaru, Tanjung Sanggar Labuhan Lombok,
dan lain-lain”.
0 comments:
Posting Komentar